Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Satu Bangunan dengan 1001 Kisah


Masjid Jami' Al Ma'mur


Masjid yang satu ini merupakan salah satu masjid tertua di Jakarta. Pada masa Belanda sempat akan dirobohkan, namun selalu gagal. Kini masjid yang konon di bangun dari beras itu menjadi bagian dari cagar budaya Jakarta yang harus dilestarikan.
Apabila Anda ingin berkunjung di Masjid Jami' Al Ma'mur ini Anda bisa  turun di stasiun Gambir ,menggunakan sarana transportasi angkutan Kota kearah jurusan Cikini. Lalu menggunakan ojek dari pertigaan Cikini menuju arah Raden Saleh. Letaknya yang strategis berdekatan dengan pusat perdagangan Cikini dan Rumah sakit didaerah Raden Saleh.
Masjid Jami’ Cikini Al Ma’mur ini memiliki kekhasan tersendiri. Model bangunannya bernuansa pertengahan abad 19. Atap masjid ini memadukan gaya arsitektur budaya Cina Dan Jawa. Menaranya pun cukup unik , ujungnyapun tidak lancip dan agak bulat. Masjid Cikini Al Makmur dibangun tahun 1932. Semula masjid ini hanya berupa musala yang seluruh tiangnya  dari bambu. Berkat peran para tokoh  nasional seperti H0S Tjokroaminoto, Kyai Haji Mas Mansyur, K.H. Agus Salim dan Abikusno Tjokrosoerono, berdirilah bangunan yang cukup kokoh yang terdiri atas pilar-pilar besar. Masjid ini bahkan pernah menjadi tempat kegiatan pahlawan nasional,seperti Haji Omar Said Cokroaminoto dan Haji Agus Salim.
Sejarah Singkat

Perjalanan sejarah Masjid Jami’ Cikini Al Ma’mur cukup panjang. Tak banyak yang tahu bahwa masjid ini dibangun dari hasil pengumpulan beras dari warga setempat.
Konon, pembangunan masjid ini di atas tanah hibah dari pelukis kondang Indonesia bernama Raden Saleh, Tahun 1860 ,”Kata Umar Swim (80), pria yang sudah 15 tahun lebih mengurus masjid itu.
Pada tahun 1860, ungkanya, Raden Saleh bersama umat Muslim di Cikini membangun masjid itu dari kayu dan bilik bamboo di lahan miliknya. Pelukis istana yang tersohor itu sering menjalankan salat lima waktu di musala dan di tempat tersebut ia merancang penyempurnaan pembangunan masjid. Kala itu, banyak warga menyebut bangunan itu Masjid Cikini.
Setelah Raden Saleh wafat pada tahun 1906, tanah dan bangunannya dikuasai oleh pria berkebangsaan Arab, Sayed Abdullah bin Alwi Alatas. Pada tahun 1923, Sayed menjual lahan dan bangunannya itu kepada Koningen Emma Stching (Yayasan Ratu Emma), yang bernaung di bawah  Pemerintahan Kolonial Belanda. Masjid itu akan di gusur dan akan di bangun gereja.
“Niat penggusuran masjid mendapat penolakan yang dipelopori pahlawan nasional, seperti Omar Said Tjokroaminoto, KH Mas Mansyur, H Agus Salim, dan Abikoesno Tjokrosoeroso,”kata Umar.
Sumbangan Beras

Belanda ngotot akan membongkar masjid itu. Warga lalu memindahkan masjid tersebut ke pinggir kali, tak jauh dari tempat semula.”Saat itu, masyarakat bergotong royong membangun masjid dengan mengandalkan sumbangan segenggam beras sampai beberapa tahun hingga masjid di tepi Kali Ciliwung itu berdiri tahun 1932,”cerita Umar.
Beras yang dikkumpulkan itu dijual ke pasar dan hasilnya dibelikan bahan bangunan. Dikisahkan pula tembok masjid itu pernah akan dibongkar paksa oleh Belanda, namun berulang kali dilakukan, temboknya masih tetap utuh. Tak ayal masjid itu sebut beberapa warga sebagai masjid yang keramat.
Pada 26 Mei 1995, Masjid yang punya 1001 kisah unik itu menjadi salah satu bangunan cagar budaya karena nilai sejarah yang tinggi.
 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar